Semenjak reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih
bersifat priomordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideologi yang terjadi
pada masa Orde Baru,” ujar Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, Minggu
(23/12/2012), dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di
Jakarta.
Dari banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, Yayasan
Denny JA mendata setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 14 tahun
reformasi. Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama
konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita. Setiap variabel
diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing variabel.
Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel jumlah korban, skor 40 untuk lamanya
konflik, skor 30 untuk luas konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10
untuk frekuensi berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni
dengan nilai 750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998
(490), pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan
(330).
“Lima konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan
nyawa 10.000 warga negara Indonesia,” ucap Novriantoni.
Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan latar agama
yang telah menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia,
dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47
gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik
yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
Sementara konflik Sampit yang berlatar belakang etnis, yakni
antara Dayak dan Madura, telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan
108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari. Konflik
kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 juga tidak kalah
hebatnya. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang
diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga hari, kerugian
materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.
Konflik Ahmadiyah di Transito Mataram telah menyebabkan 9
orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9
orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang
dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan
korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan media cukup kuat dan
rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang tak jelas bagi nasib para
pengungsi.
Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan telah
menimbulkan korban 14 orang meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. “Secara
keseluruhan, negara terlihat mengabaikan konflik-konflik yang sudah terjadi
pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus bahkan tidak ada pelaku atau otak
pelaku kekerasan yang diusut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar